Kaderisasi
Ulama dan Intelektual sejak dini untuk menghadapi masa depan penuh keberkahan
Klik Disini

Fiqih Sunan Drajat: Pilar Sosial dan Keadilan dalam Islam Nusantara

Pendahuluan

Sunan Drajat, yang memiliki nama asli Raden Qosim, adalah salah satu dari Walisongo yang terkenal sebagai da’i besar di pesisir utara Jawa Timur, khususnya di daerah Paciran, Lamongan. Berbeda dengan sebagian Wali lainnya yang menonjol dalam bidang tasawuf, seni, atau filsafat, Sunan Drajat sangat dikenal melalui dakwah sosial dan pendekatan fiqih praktis dalam kehidupan umat.

Fiqih Sunan Drajat bukan hanya berisi aturan hukum-hukum syariat semata, tetapi juga meliputi dimensi sosial, keadilan, kemaslahatan, dan empati terhadap sesama manusia, terutama kaum dhuafa, yatim, dan orang miskin. Beliau mengamalkan dan mengajarkan fiqih sebagai alat transformasi sosial, bukan sekadar ilmu tekstual.


1. Sumber dan Akar Fiqih Sunan Drajat

Sunan Drajat belajar langsung dari ayahnya, Sunan Ampel, serta mendapat pengaruh dari guru-guru besar yang mendalami mazhab Imam Syafi’i, yang menjadi mazhab utama di kalangan pesantren dan masyarakat Islam Nusantara hingga hari ini.

Fiqih Sunan Drajat bersumber dari:

  • Al-Qur’an
  • Hadits Nabi Muhammad ﷺ
  • Pendapat fuqaha (ulama fiqih)
  • Ijma’ dan qiyas
  • Tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan syariat

Beliau tidak memaksakan hukum Islam secara kaku, melainkan memahami konteks masyarakat, budaya, dan kondisi sosial. Inilah yang membuat dakwahnya diterima dengan luas oleh masyarakat Jawa kala itu.


2. Prinsip Dasar Fiqih Sunan Drajat

Fiqih Sunan Drajat memiliki beberapa prinsip utama yang menonjol:

a. Fiqih yang Membela Kaum Lemah

Sunan Drajat memandang bahwa syariat Islam harus membela kaum tertindas, fakir miskin, dan yatim. Oleh karena itu, ia memprioritaskan ajaran fiqih seperti:

  • Zakat, infak, dan sedekah
  • Wajib menolong orang kelaparan
  • Anjuran memberi makan anak yatim dan janda
  • Menyantuni orang sakit dan orang tua

b. Fiqih yang Kontekstual dan Realistis

Beliau tidak sekadar menyalin hukum dari kitab-kitab, tetapi menyaring dan menerapkannya sesuai realitas masyarakat. Misalnya:

  • Dalam persoalan pernikahan, beliau menghindari mahar yang memberatkan
  • Dalam hukum jual beli, beliau menentang riba dan penipuan
  • Dalam hukum waris, beliau mengedepankan keadilan dalam distribusi

c. Fiqih yang Menghidupkan Spirit “Empat Takon”

Sunan Drajat dikenal dengan ajaran sosial “Pitu Pitutur Luhur” yang mencerminkan nilai fiqih praktis. Empat di antaranya sering disebut sebagai “Empat Takon”, yaitu:

  1. Menehono teken marang wong kang wuto
    ➝ Beri tongkat pada orang buta (bimbing orang yang buta ilmu agama)
  2. Menehono mangan marang wong kang luwe
    ➝ Beri makan pada yang lapar (prioritas atas kebutuhan dasar manusia)
  3. Menehono busono marang wong kang wudo
    ➝ Beri pakaian kepada yang telanjang (memuliakan manusia)
  4. Menehono payung marang wong kang udan
    ➝ Beri perlindungan pada yang kehujanan (menolong dalam kesulitan)

Semua ini adalah manifestasi fiqih dalam bentuk sosial nyata.


3. Implementasi Fiqih Sunan Drajat dalam Masyarakat

Fiqih beliau tidak hanya diajarkan di pesantren atau majelis, tetapi diimplementasikan langsung dalam masyarakat. Contohnya:

  • Membangun lumbung sosial di masjid untuk membantu fakir miskin
  • Menyediakan tempat pengobatan gratis bagi rakyat jelata
  • Menghapuskan sistem kasta yang timpang secara hukum dan sosial
  • Menyusun sistem hukum adat yang sejalan dengan syariat Islam
  • Menjadikan masjid sebagai pusat layanan sosial, bukan hanya tempat sholat

Sunan Drajat memadukan ilmu fiqih dengan amal nyata. Ia lebih suka mendidik umat melalui keteladanan daripada sekadar ceramah. Inilah yang membuat fiqih beliau terasa hidup dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.


4. Warisan Fiqih Sunan Drajat

Hingga kini, warisan fiqih Sunan Drajat masih hidup dalam kultur pesantren dan masyarakat Jawa, seperti:

  • Budaya sedekah bumi yang dimaknai sebagai rasa syukur kepada Allah (bukan syirik)
  • Tradisi tahlilan dan kenduri sebagai bentuk doa untuk yang wafat
  • Gotong royong sebagai wujud implementasi fiqih mu’amalah
  • Sikap toleran terhadap perbedaan fiqih di kalangan masyarakat

Beliau juga mewariskan nilai bahwa ilmu fiqih harus membumi, berpihak pada rakyat kecil, dan tidak boleh menjadi alat menindas orang miskin.


5. Relevansi Fiqih Sunan Drajat di Zaman Modern

Di era sekarang, fiqih sering diperdebatkan secara tekstual, padahal substansi fiqih adalah:

  • Menebar keadilan
  • Menjaga martabat manusia
  • Menciptakan keteraturan hidup
  • Mendorong kesejahteraan umat

Fiqih Sunan Drajat mengajarkan kita bahwa ilmu fiqih bukan hanya untuk dijadikan fatwa, tetapi harus menjadi alat pemberdayaan umat. Dalam dunia pendidikan pesantren masa kini, prinsip-prinsip fiqih Sunan Drajat dapat menjadi model:

  • Fiqih sebagai basis pengabdian sosial
  • Fiqih sebagai alat pemberdayaan ekonomi umat
  • Fiqih yang membangun peradaban kasih dan empati

Penutup

Fiqih Sunan Drajat adalah fiqih yang hidup — tidak hanya di kitab, tetapi di ladang-ladang, pasar, rumah, dan jalan-jalan. Ia mengajarkan bahwa agama harus menjawab kebutuhan manusia, bukan sekadar aturan hukum yang dingin.

Mewarisi fiqih Sunan Drajat adalah mewarisi semangat rahmatan lil ‘alamin, fiqih yang menyatukan langit dan bumi, tauhid dan sosial, ilmu dan pengabdian. Maka, di era disrupsi dan ketimpangan ini, kita butuh kembali menimba dari sumur warisan Sunan Drajat — seorang wali, ulama, dan fiqihwan sejati dari bumi Nusantara.

Sharing is caring