Pesantren Sunan Drajat Al-Qosimiyyah (PSDQ) didirikan sebagai bagian dari kelanjutan dakwah dan pendidikan Islam yang telah diwariskan oleh para wali Allah di tanah Jawa, khususnya Sunan Ampel (R. Rahmatullah) dan putranya Sunan Drajat (R. Qosim). Pendirinya, KH. Muhammad Munawwir Al-Qosimi, merupakan keturunan langsung dari silsilah dakwah ini, hingga kepada Sayyid Qinan Sidayu, yang menjadi titik mata rantai kesinambungan perjuangan para wali.
Buya Munaawwir—sapaan akrab beliau—sejak kecil telah dibimbing mengaji oleh kedua orang tua beliau: KH. Muhammad Mawardi dan Almh. Nyai Hj. Hasanatun. Setelah itu, beliau menempuh pendidikan agama di berbagai pesantren besar di Jawa Timur, antara lain:
Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren, beliau menerima wasiat langsung dari para masyayikh—khususnya dari KH. Abdul Hadi (Ponpes Banjarwati, Lamongan)—agar berhijrah ke Jakarta untuk melanjutkan dakwah Sunan Drajat dan membawa nama harum datuknya.
KH. Ahmad Idris Marzuqi (Lirboyo) dan KH. Abdul Hanan Ma’shum pun memberikan ijazah dzikir dan doa khusus agar beliau diberkahi dalam hijrah. Firman Allah menjadi pegangan:
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak…”
(QS. An-Nisa’: 100)
Buya Nawwir muda hijrah ke Jakarta dan mengawali dakwah dari bawah sebagai pengajar al-Qur’an dan guru ngaji. Ia sempat tinggal di rumah sahabatnya semasa di Lirboyo, Ust. H. Ahmad Tsawban di Pancoran.
Berkat bimbingan dan doa gurunya, KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi, beliau mulai membuka Majlis Ta’lim Sunan Drajat di Kebon Jeruk dan menjadi juru dakwah, yang bahkan dihadiri tokoh seperti Irjen. Abu Bakar Nataprawira dan H. Marsudi Murtodiharjo (pemilik RS Sari Asih).
Setelah menikah dengan Nyai Hj. Lia Suraedah, M.Pd, Buya Nawwir semakin aktif berdakwah. Bahkan banyak jamaah dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Prancis berdatangan.
Atas istikharah dan anjuran gurunya, KH. Abdul Hanan Ma’shum, Buya Nawwir membeli rumah di Kampung Tajur, Parung, Bogor pada 1 Muharram 1429 H (9 Januari 2008). Di sana, beliau memulai TPQ Al-Qosimiyyah dan majlis ta’lim ibu-ibu.
Atas restu orang tua dan wasiat keluarga, beliau membeli tanah 1.000 m² sebagai wakaf yang diatasnamakan KH. Mawardi untuk dijadikan pondasi berdirinya pesantren. Pembangunan pertama dimulai pada Jum’at Legi, 12 Rabi’ul Awwal 1431 H (25 Februari 2010) dengan pendirian Pendopo Sunan Drajat.
Di pendopo ini, beliau menyampaikan dakwah Islam ala Walisongo: pengajian dari pagi hingga malam, dengan santri dari anak-anak hingga manula, bahkan kaum yatim piatu dan dhuafa.
Atas kunjungan gurunya, KH. Abdullah Kafabihi, pada Mei 2011, beliau didorong untuk membuka lembaga pendidikan formal. Maka berdirilah SMP Islam Terpadu Al-Qosimiyyah sebagai awal dari sistem pendidikan modern yang integratif dengan nilai-nilai pesantren.
Buya Nawwir adalah keturunan langsung dari Sunan Ampel dan Sunan Drajat:
(15) Muhammad Munawwir al-Qosimi bin (14) Muhammad Mawardi bin (13) Muhammad Mudhor bin (12) Muhammad Zahid bin (11) Abdul Karim (nama istri Nyai Amirah binti Raden Jamilun bin Kanjeng Sepuh Sedayu) bin (10) Abdul Qoh-har bin (9) Darus bin (8) Qinan (Sunan Kuning) bin (7) Ali Mas’udi bin (6) Ahmad Rifa’i bin (5) Bisyri bin (4) Ahmad Dahlan bin (3) Muhammad Ali bin (2) Abdul Hamid bin (1) Shiddiq/Ja’far Shodiq/Sunan Sepat Madu bin Sunan Drajat, R.Qosim (nama istri : Ratna Ayo Condrosekar) bin Sunan Ampel, R. Rahmatullah (nama istri Ratna Ayu Manila) bin Ibrahim Asmoroqondi (nama istri: Ratna Ayu Asmorowati) bin Jumadil Kubro (nama Istri : Fathimah binti Sultan Muhammad I Dinasti Utsmaniyyah, Turki)Â
PSDQ didirikan tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai basis ruhani, konsultasi spiritual, pengajaran al-Qur’an, dzikir, dan penguatan moral umat. Arah perjuangannya mengikuti prinsip Sunan Drajat:
“Wenehono teken marang wong kang wuto” – Berikan tongkat (bimbingan) bagi yang buta (kebodohan agama)
Pesantren Sunan Drajat Al-Qosimiyyah adalah manifestasi nyata kelanjutan estafet Walisongo dalam bentuk yang modern namun berakar kuat pada tradisi Islam Nusantara. Dipimpin oleh dzurriyah yang alim, tawadhu, dan bersambung sanad keilmuan dan kekeramatannya, pesantren ini menjadi oase ruhani di tengah hiruk pikuk dunia.